Iklan politik
Kontes pemilihan presiden 2009 makin ramai dengan berbagai bentuk komunikasi dengan publik. Beberapa tokoh mulai menjual diri. Medium yang paling menyolok digunakan adalah televisi dan iklan luar ruang. Mereka yang menokohkan diri datang dari berbagai latar belakang dan profesi. Ada aktivis panggung, presenter televisi, pensiunan militer, ada juga tokoh muda mantan demonstran.
Mengiklankan diri di era reformasi seperti sekarang tentu sah saja. Mereka juga sah mengumandangkan slogan yang mereka sukai dan disampaikan kepada target audience yang luas.
Masalahnya, cara beriklan dan slogan yang dikumandangkan persis sama dengan cara beriklan partai politik dalam pemilu-pemilu yang lalu. Janji-janji yang ditawarkan juga sama. Bahkan slogan dan janji yang sekarang justru lebih melangit, tidak membumi. Lihatlah misalnya; “untuk harga diri bangsa”, “generasi baru, harapan baru”, “membawa suara petani Indonesia”, “tegas! berani melakukan perubahan buat rakyat!”, atau “Republik Kaum Muda, Republik Harapan”. Tidak ada inovasi yang membuat publik menoleh jika melewati balihoo di pinggir jalan, atau berhenti menyantap hidangan ketika melihat iklan televisi. Mereka menoleh atau berhenti menyantap hidangan karena cuma untuk bertanya-tanya; “apalagi neh … ?”
Sesungguhnya, publik lelah dengan iklan dan jargon politis. Kompas mencatat tingkat golput di pilkada sebagai berikut; Banten 39,17% (26 Nov 07), DKI 34,59% (8 Agu 07), Jawa Barat 32,7% (13 Apr 08), Jawa Tengah 41,5% (22 Jun 08). Jawa Timur sudah memrediksi kemungkinan naiknya angka golput baik dalam pilkada sekarang maupun Pilpres 2009 nanti.
Salah satu penyebab golput adalah masyarakat lelah dengan slogan sementara kenyataan sehari-hari menjungkirkan slogan dan menguburnya bersama harapan politis mereka. Pilkada, Pemilu dan Pilpres mendatang harusnya menjadi momentum aktivis politik baik partai maupun perseorangan untuk lebih membumi, merakyat, menghirup udara rakyat. Politik butuh kejujuran. Dan rakyat akan menunggu siapa yang dengan jujur berkomunikasi dengan mereka.
Rakyat juga butuh bukti dan fakta. Selama iklan-iklan tersebut tidak diikuti dengan hal-hal nyata, maka itu hanya sekadar pemberitahuan. Iklan-iklan itu tidak akan menarik rakyat untuk memilih. Malah munkgin mereka makin lelah dan over communicated.
Mengiklankan diri di era reformasi seperti sekarang tentu sah saja. Mereka juga sah mengumandangkan slogan yang mereka sukai dan disampaikan kepada target audience yang luas.
Masalahnya, cara beriklan dan slogan yang dikumandangkan persis sama dengan cara beriklan partai politik dalam pemilu-pemilu yang lalu. Janji-janji yang ditawarkan juga sama. Bahkan slogan dan janji yang sekarang justru lebih melangit, tidak membumi. Lihatlah misalnya; “untuk harga diri bangsa”, “generasi baru, harapan baru”, “membawa suara petani Indonesia”, “tegas! berani melakukan perubahan buat rakyat!”, atau “Republik Kaum Muda, Republik Harapan”. Tidak ada inovasi yang membuat publik menoleh jika melewati balihoo di pinggir jalan, atau berhenti menyantap hidangan ketika melihat iklan televisi. Mereka menoleh atau berhenti menyantap hidangan karena cuma untuk bertanya-tanya; “apalagi neh … ?”
Sesungguhnya, publik lelah dengan iklan dan jargon politis. Kompas mencatat tingkat golput di pilkada sebagai berikut; Banten 39,17% (26 Nov 07), DKI 34,59% (8 Agu 07), Jawa Barat 32,7% (13 Apr 08), Jawa Tengah 41,5% (22 Jun 08). Jawa Timur sudah memrediksi kemungkinan naiknya angka golput baik dalam pilkada sekarang maupun Pilpres 2009 nanti.
Salah satu penyebab golput adalah masyarakat lelah dengan slogan sementara kenyataan sehari-hari menjungkirkan slogan dan menguburnya bersama harapan politis mereka. Pilkada, Pemilu dan Pilpres mendatang harusnya menjadi momentum aktivis politik baik partai maupun perseorangan untuk lebih membumi, merakyat, menghirup udara rakyat. Politik butuh kejujuran. Dan rakyat akan menunggu siapa yang dengan jujur berkomunikasi dengan mereka.
Rakyat juga butuh bukti dan fakta. Selama iklan-iklan tersebut tidak diikuti dengan hal-hal nyata, maka itu hanya sekadar pemberitahuan. Iklan-iklan itu tidak akan menarik rakyat untuk memilih. Malah munkgin mereka makin lelah dan over communicated.
Comments