Disiplin (persimpangan KA)

Saya melewati persimpangan kereta api. Frekuensi kereta api cukup tinggi apalagi pada jam-jam sibuk. Jadi, seringkali terdengar bel persimpangan kereta api yang bunyinya khas dan membosankan. Sering bahkan diiringi dengan pengumuman tentang UU Perkereta-apian. Pengumuman itu berbunyi semua kendaraan harus mendahulukan kereta api sesuai dengan Undang-undang. Padahal pintu kereta sudah jelas ditutup. Tujuannya tentu untuk meminta pengendara jadi disiplin dan taat aturan.

Tapi yang terjadi justru pelecehan aturan oleh pengendara, terutama sepeda motor. Begitu bel berbunyi dan pintu persimpangan mulai menutup, sepeda motor malah berpacu mendahului pintu persimpangan. Beberapa pengendara nekad melintas dan berlomba dengan waktu. Mereka lolos dengan keberuntungan (karena kalau tidak beruntung namanya ‘kecelakaan’), dan tiba di seberang rel bak seorang juara balapan. Setelah itu mereka meluncur hilang di kesepian jalan karena yang lain terhalang pintu persimpangan. Dia melaju …merasa jagoan!

Disiplin seperti ini kelihatannya soal kecil, sepele, remeh, tidak penting banget. Pengendara yang lain juga tak bereaksi. Petugas persimpangan kereta api, kadang ada juda polisi, tidak mengambil tindakan apa-apa. Sering malah mereka minta penyerobot itu lebih cepat lagi. Nah, itu dia. Orang melanggar malah dipersilakan.

Sesungguhnya ini bukan soal kecil. Ini bukan soal sepele, tidak remeh, bukan tidak penting. Ini soal sangat mendasar. Ini adalah pangkal pendidikan disiplin di ranah publik. Pelanggaran aturan yang dianggap keci ini adalah pangkal pelanggaran aturan yang lebih besar. Pelanggaran tanpa penghukuman seperti ini membiasakan orang menganggap bahwa aturan boleh saja ada, tapi pelanggaran tidak pernah berakibat pada penghukuman. Jadi buat apa taat aturan.

Negeri ini tidak punya pendidikan moral dan etika di sekolah. Di masyarakat pun, tidak ada pendidikan disiplin. Kasus ini adalah salah satu contoh. Maka orang bisa berpikir; “Hari ini saya langgar Undang-undang perkereta-apian yang didengungkan di tiap persimpangan kereta, toh tidak ada efek hukumnya.” Selanjutnya, “nanti saya akan langgar aturan lain, paling juga tidak ada efek hukumnya. Jadi, boleh dong saya nanti melanggar rambu lalu lintas, menyerobot tanah tanpa hak, menggelapkan pajak, membayar upah buruh di bawah standar, kalau ketahuan ya nyogok petugas, atau saya korupsi, bahkan kalau perlu makar.”

Persimpangan kereta api harus menjadi salah satu kesempatan dan pleluang mendidik disiplin masyarakat. Penyerobot harus mendapatkan hukuman atas kecerobohan, keengganan taat aturan dan yang paling penting, pelecehan terhadap hukum. Bahkan, untuk membangun efek jera dan taat hukum kepada penngendara yang lain, penghukuman ini harus terbuka, visible dan memberikan pelajaran kepada yang bersangkutan dan yang lain.

Tapi sebenarnya, siapa yang bertanggung jawab atas penindakan terhadap pelanggar ini? Polisi? Dinas Perhubungan? Penjaga persimpangan kereta api? Nah, lagi, kita menghadapi situasi tidak transparan …

Comments

Anonymous said…
Hai pak Iim...would be my honor as first person who write in your comment page :)...

Welcome to the blogging world...tempat para blogger saling berbagi dan mengenal dalam bentuk positif yg membangun...

Nice article, memang masyarakat kita sebenernya masih harus digembleng utk punya kedisiplinan...mungkin bisa lewat kereta api yg diutarakan artikel ini...namun, kalo masih banyak orang yg tidak juga kapok, mungkin kereta api bisa jadi tidak mempan lg nih...:)

Tukeran link yuk pak...

Salam Sukses,

afra
http://aframayriani.wordpress.com

Popular Posts