Aspek Isi Calon Presiden

Dua dari beberapa kader bangsa yang memastikan diri untuk ikut pemilihan presiden 2009 berusia masih di bawah 50. Dua lagi di awal 50-an, dan selebihnya di atas 55 tahun hingga 64 tahun. Sebenarnya, apakah ada beda memilih seorang calon presiden berusia di bawah 50 dan calon yang berusia di atas 60. Pertanyaan ini dijadikan penting oleh para calon sendiri karena ada anggapan pembagian calon generasi muda dan generasi tidak muda akan memberikan manfaat bagi masing-masing kelompok usia.

Perkembangan proses pemilihan presiden 2009 melebar hingga menyentuh soal calon muda presiden dan calon kurang muda, atau calon tidak muda lagi. Pengelompokan ini sempat menjadi konsumsi media ketika isu dilemparkan sebaiknya calon presiden yang sudah pernah menjadi presiden memberi kesempatan kepada calon yang belum pernah. Atau semacam itulah. Diskusi publik itu lalu berkembang menjadi pengelompokan calon presiden berusia relatif muda, tengah baya, dan calon presiden berusia lewat tengah baya.

Sebenarnya, tidak ada pembagian seperti itu dalam undang-undang maupun syarat menjadi calon presiden. Tetapi pengelompokan ini disangka oleh beberapa calon presiden atau tim sukses mereka akan bisa memberikan manfaat bagi tokoh yang didukungnya. Dengan menyebut tokohnya masih muda atau berusia muda, maka ada hal-hal yang diperhitungkan bisa memberikan kesempatan identifikasi diri para pemilih. Sangkaannya, para pemilih akan segera mengidentifikasikan diri mereka sebagai sama-sama muda dengan tokoh berusia relatif muda. Juga disangkanya, para pemilih yang sudah berusia di ‘atas muda’ akan melihat bahwa ada tokoh baru yang mungkin bisa menjadi pilihan lain bagi mereka yang sudah dikenal kiprahnya, diketahui pola dan cara kerjanya, serta dipahami bagaimana atau kira-kira bagaimana pendekatan mereka dalam membangun bangsa.

Missing link
Satu hal nyata yang harus menjadi perhitungan para calon presiden adalah bahwa saat ini adalah periode eksibisi. Inilah periode di mana semua calon presiden sedang menyiapkan diri untuk menjadi terkenal dan berharap keterkenalannya akan menjadi modal sehingga para pemilih akan menentukan pilihan pada diri mereka. Bahkan, beberapa orang telah dengan jelas memosisikan diri untuk menjadi tokoh menasional dan berharap untuk menjadi pilihan pemberi suara.

Di sinilah terjadi missing link antara menjadi tokoh yang dikenal dengan menjadi presiden. Menjadi terkenal adalah sebuah langkah untuk memopulerkan diri dengan cara-cara lumrah terutama cara-cara melalui medium komunikasi paling efektif, yaitu media. Maka bermunculanlah beberapa iklan tentang orang-seorang yang ingin dikenal publik di televisi, melalui balihoo, atau media cetak.

Karena memang tujuan langkah tersebut adalah untuk dikenal publik, maka dalam batas tertentu masyarakat menjadi tahu siapa saja orang-seorang yang wajahnya sering muncul di pesawat televisi mereka. Wajah-wajah tersebut makin dikenal dan dikenal, hingga kadang-kadang sudah sampai pada tahap rada bosan karena bertalu-talu dan kelebihan porsi. Tetapi, apakah masyarakat sungguh-sungguh paham pesan apa yang ingin disampaikan orang-seorang yang wajahnya sering muncul tersebut, merupakan hal lain yang ingin dibahas di sini.

Di lingkungan komersial, iklan adalah sarana komunikasi untuk melakukan persuasi bagi konsumen untuk menggunakan suatu produk atau meningkatkan konsumsi produk tertentu. Di bidang politik, tujuan iklan tentu bukan untuk mengonsumsi orang-seorang dalam iklan tersebut tetapi untuk mengingatkan bahwa ada orang-seorang dengan ciri-ciri visual dalam iklan tersebut, punya kemauan dan keinginan, dan dengan pesan ‘tolong nanti jangan lupa saya ya.’ Dalam pelaksanaannya, iklan sungguh membutuhkan dana yang besar, sangat besar.

Di luar lembaga komersial, lembaga yang sering beriklan bukan untuk tujuan menjual atau konsumsi adalah partai politik, rekrutmen militer, lembaga keagamaan, atau interest groups. Di partai politik, iklan ditujukan untu menjual orang (maaf, untuk diikuti, bukan dikonsumsi). Sedankang di rekrutmen militer, tujuannya adalah untuk menarik orang untuk ‘terbeli’ dan menjadi bagian kelompok.

Menurut kajian, iklan ternyata punya biaya lain selain biaya tunai, yaitu, biaya sosial. Di Indonesia, terutama di Jakarta, iklan menyerbu ranah publik tanpa tata karma dan perasaan. Di sekolah, tempat umum, di sarana umum, bahkan di mal pun, iklan menindas masyarakat dengan gencar tanpa daya mengelak. Di rumah pribadi dan lingkungan tempat tinggal, iklan cenderung bersifat vandalistik. Kita temukan banyak iklan seperti dari shampoo, batere, rokok, hingga tukang spanduk dan tukang pasang antena TV. Bahkan, ketika orang Indonesia diperkirakan kurang kuat, iklan obat kuat pun digelontorkan di tempat umum dengan harapan orang Indonesia mau jadi lebih kuat. Di sela-sela hiruk pikuknya iklan itulah, terselip wajah orang-seorang yang diperkenalkan untuk diingat oleh masyarakat , it’s a reminder.

Jika iklan shampoo, misalnya, berusaha memersuasi rambut masyarakat bisa hitam atau kehitaman atau akan berkibar bak bendera, kalau iklan orang-seorang memersuasi apa terhadap masyarakat? Kalau yang ingin disampaikan adalah ‘pilihlah saya nanti-nanti ya’, maka langkah para orang-seorang ini bak jauh panggang dari api.

Di sinilah perbedaan antara iklan produk dan iklan orang-seorang. Ketika masyarakat mulai kenal wajah, mereka benar mengingat wajah tersebut. Tetapi ketika kita berbicara tentang memilih seorang presiden, lalu pertanyaan masyarakat adalah apa hubungan wajah tersebut dengan persoalan dan kesulitan masyarakat yang membelit setiap hari? Ekspektasi masyarakat sederhana saja; apakah wajah-wajah itu bisa menurunkan harga minyak tanah dan BBM, bisa membuat saya bisa beli beras plus lauk-pauk, atau bisa membuat penghasilan saya cukup dan kalau perlu lebih. Mereka mengidamkan pemimpin yang bisa meredam kesulitan termasuk menghindari bencana alam. Jadi mereka sepertinya Waiting for Godot, bak tulisan Samuel Beckett.

Di kelas lain, apakah wajah-wajah itu menjamin kebebasan saya berbicara? Menjamin hak-hak dasar saya? Menjamin kualitas pendidikan anak-anak saya? Pajak saya bisa turun nggak?

Ketika mengaji masalah itu, maka diperlukan langkah selanjutnya setelah dikenal masyarakat, yaitu perencanaan bagus dan matang, kecermatan, langkah-langkah dan cara-cara yang dirancang dengan rapi, dijadual dengan ketat, diawasi dan dievaluasi dengan cermat dan dilanjutkan atau dikemas ulang sesuai tujuan awal. Di sinilah diperlukan content yang menjadi titik penentu apakah pemilih akan memberikan suara atau melengos dan memilih orang-seorang lain.

Dari titik pandang ini, maka ada perbedaan antara mereka yang berusia relatif muda, tengah baya, dan mereka yang lewat tengah baya. Di satu sisi, para muda usia bisa mengklaim bahwa mereka punya kreativitas, ide, atau jalan keluar yang diperkirakan bisa memecahkan masalah bangsa. Dan mereka bertekad menjual hal-hal tersebut sebagai nilai tambah. Padahal masyarakat perlu diyakinkan bahwa kalau memilih mereka itu apa yang menjadi pertimbangan. Pemilih sekarang berpikir kritis dan tidak ingin mengulang apa yang mereka anggap kekeliruan masa lalu, memilih orang-seorang lha kok malah makin sengsara.

Di sisi lain, para usia tengah baya atau lewat tengah baya, sudah lebih dikenal kiprah dan hasil kerjanya, lepas dari apakah kinerjanya dikenal secara positif atau justru negatif. Tetapi mereka memiliki peluang lebih baik karena sudah melewati masa berkenal-kenalan dan langsung mengarah pada pengenalan yang lebih positif. Jika mereka memiliki hal-hal yang bisa menyudutkan, maka mereka tinggal memoles kemasan dan menjual lagi. Jika ada hal-hal yang positif, maka tinggal digenjot promosinya.

Sekarang semua calon sedang berdandan untuk memikat publik. Ketika semua sedang mengenalkan diri dan para penampil itu berjumlah jamak, maka persaingan memperkenalkan diri menjadikan waktu sangat pendek. Bagi para usia muda, dalam waktu yang pendek ini, yang ada cuma mengenalkan diri tanpa sempat meyakinkan content diri mereka seorang capres. Content dalam persaingan imej dan reputasi yang ketat sekarang, maka content seseorang akan menentukan apakah pemilih akan terpikat atau tidak. Jadi content is king!

Karena itu kelemahan tokoh muda adalah mengomunikasikan content-nya apa, karena ditilik dari kiprah dan kinerja untuk kepentingan publik, maka apa yang sudah dilakukan oleh para tokoh yang lebih lama sudah lebih dikenal dan dipahami oleh pemilih. Cuma soal memoles sekarang.

Diterbitkan di Koran Tempo, 9 Agustus 2008.

Comments

Popular Posts