Menangkis Fitnah dengan Hukum

“They who can give up essential liberty to obtain a little temporary safety deserve neither liberty nor safety.” ― Benjamin Franklin, Memoirs of the life & writings of Benjamin Franklin Siapa pun di negeri ini memiliki hak penuh untuk mempertahankan nama baik dan kredibilitas baik secara hukum maupun secara kemasyarakatan. Tapi menurut Benjamin Franklin, siapapun yang mengorbankan kebebasan untuk memperoleh sejenak rasa aman, dia tak akan mendapatkan salah satunya, kebebasan atau rasa aman. Jangan-jangan ini bisa terjadi ketika Presiden Sby menunjuk tim pengacara untuk mengurusi berbagai isu dan fitnah yang diarahkan ke keluarganya. Dalam perspektif komunikasi, tiga pengacara senior ini akan mewakili keluarga Presiden SBY menangani berbagai isu dan fitnah. Dalam sebuah pernyataan di media, Presiden SBY mengatakan isu dan fitnah itu ditayangkan di talkshow televisi, social media, sms dan yang lain-lain. Media menyebutkan isu-isu itu antara lain barter jabatan wakil presiden Boediono dengan kebijakan bailout Bank Century, aliran dana ke Ibas dalam kasus Hambalang, dan Sylvia Sholeh alias Bu Pur yang diduga terlibat dalam pengaturan proyek Hambalang – disebut dekat dengan Ani Yudhoyono. Di kasus lain, saksi kasus korupsi kuota impor daging sapi menyebut kedekatan Sby dengan pengusaha Sengman Tjahja dan Non Saputri. Sedang terdakwa kasus suap SKK Migas Deviardi, mengatakan Komisaris Utama Kernel Oil Pte. Ltd. Widodo Ratanachaikong dekat dengan Ibas. Banyak juga isu yang harus ditangani oleh tim pengacara. Lalu dari sisi ‘alat komunikasi’ berapa banyak medium yang harus diteliti dan ditangkisi? Jika isu-isu itu muncul di social media, maka sibuklah menyaring, memilah dan menentukan mana fitnah mana bukan. Saat sekarang ini, fokus memang terarah pada aktivis Sri Mulyono, anak buah Anas Urbaningrum di PPI. Bagaimana dengan penyebaran isu di social media? Menangkis isu melalui langkah hukum mungkin efektif kalau hanya ada satu dua isu. Dalam kasus sekarang ini, tim pengacara bisa menggugat Sri Mulyono penulis artikel dan membawanya ke ranah hukum. Tetapi jika isu yang beredar itu isu jamak, maka pertanyaannya apakah pendekatan hukum itu pendekatan yang efektif. Apalagi jika isu itu dilayangkan lewat social media. Bagaimana pengacara menghadapi isu yang beredar di social media? Dalam 5 – 10 tahun terakhir, ada pergeseran besar dalam penyampaian pesan dengan berkembangnya social media. Social media dalam format seperti twitter, facebook, pinterest, instagram, path, google+, dan lainnya adalah forum tukar menukar informasi yang tumbuh pesat. Dii Indonesia ada sekitar 82 juta pengguna internet. Indonesia menempati urutan 8 pengguna internet dunia dan urutan 4 pengguna social media. Dengan karakteristik social media yang mampu menyiarkan informasi kapan saja tanpa ada batasan jumlah, maka bisa dibayangkan jutaan informasi yang mengapung di social media dan potensi penyebarannya yang melampau batas negara dan batas waktu. Lebih menyeramkan lagi, social media memiliki karakter berhantu. Artinya, siapa saja bisa menjadi penulis, siapa saja bisa menjadi ‘wartawan.’ Everybody is journalist! Karena itu informasi tentang apa pun bisa naik ke internet termasuk social media. Tak ada tim redaktur yang akan memilih dan mengedit! Tak ada verifikasi kebenaran informasi, tinggal pembaca saja yang menyaringnya sendiri. Bagi pembaca, sulit memilih mana informasi yang fakta dan mana isu, apalagi fitnah! Belum lagi akun berhantu yang tak jelas pemiliknya. Maka tim pengacara akan menghadapi situasi ini. Mereka bisa saja merunut asal muasal informasi dengan bantuan teknologi atau wewenang penegak hukum seperti polisi. Tapi pelacakan tak akan menghentikan isu itu sendiri. Isu, atau fitnah, akan tetap menyebar dan siapapun tak akan mampu membendung penyebaran isu itu. Masih ingat kasus RS Omni menggugat Prita Mulasari? Surat Prita, bukan fitnah, terus menggelinding dan dibaca ratusan ribu jika bukan jutaan netizen, para pengguna internet, meski RS Omni melakukan gugatan hukum. Lalu para netizen menyebarkan isu yang mereka anggap seksi ke jaringan mereka masing-masing, dan terbentuklah komunitas virtual! Ini komunitas baru dengan ikatan emosi yang sama dan sama-sama menikmati isu itu. Dalam kasus Prita, keluhan Prita muncul bersamaan dengan banyaknya keluhan tentang pelayanan rumah sakit. Maka para blogger pun bangkit dari ketiadaan menjadi wujud kekuatan penekan baru! Pendekatan hukum adalah penggunaan pasal-pasal yang diperhitungkan bisa memenangkan kasus antara dua pihak. Sementara pihak lawan akan lakukan hal yang sama. Jadi pendekatan hukum adalah pendekatan untuk saling berhadapan melalui meja pengadilan sementara isu terus bergulir jadi bahan liputan media. Saya kira Presiden SBY melewatkan peluang untuk menggunakan pendekatan komunikasi dua arah; Public Relation. PR bisa menjelaskan dan menyampaikan pesan kepada publik dan para penulis kabar di internet dengan lebih persuasif, bukan konfrontatif. PR juga bisa menerapkan strategi low profile tapi berhasil guna, bukan justru diekspos luas di media. Meski untuk kepentingan pribadi, nama SBY tidak bisa lepas begitu saja dari jabatan dan partai politik. Dengan elektabilitas Demokrat yang merosot drastis, siapapun harus cermat memperhitungkan sentimen publik atas isu yang menerpa. Isu-isu ini bukan isu yang bisa ditutupi, dipoles atau dipelintir. Isu ini juga tak bisa diredam dengan pasal hukum tapi dengan komunikasi strategis. Jaman pelintiran sudah terkubur pada 10 tahun lalu. Ini adalah jaman keterbukaan dan kejujuran. Apapun informasi yang tidak jujur dan tidak sesuai dengan kenyataan, hanya akan diacuhkan jika tidak dicemooh.

Comments

Popular Posts