Cuju dan sepakbola Indonesia (Koran Tempo, 31 Juli 2013)

Sepakbola adalah permainan indah oleh dua tim yang masing-masing terdiri dari 11 pemain. Mereka memperebutkan sebutir bola untuk ditendang ke arah gawang lawan. Tim yang mencetak lebih banyak gol akan menjadi pemenang. Permainan ini ditata oleh sederet peraturan yang makin lama makin rapi untuk menjaga sportivitas dan menghindarkan sepakbola dari pemanfaatan untuk tujuan lain di luar sepakbola. Permainan yang menarik minat ratusan juta orang ini menjadi rentan terhadap pemanfaatan untuk tujuan-tujuan di luar permainan itu sendiri. Bagaimana perkembangan sepakbola dan pemanfaatan apa yang pernah terjadi pada permainan ini? Orang-orang di Cina pernah memainkan olahraga bernama Cuju pada abad ke 3 - 2 sebelum Masehi. Cuju adalah permainan bola yang ditendang ke arah lubang tinggi berjaring di tengah lapangan. Pemain sama sekali tidak dibolehkan menggunakan tangan. Tim yang paling banyak menyarangkan bola di lubang berjaring akan jadi pemenang. Para peneliti menyebut olahraga ini digunakan penguasa waktu itu untuk menghimpun dan melatih anak muda yang kemudian menjadi anggota militer. Saat itu, Cuju menjadi permainan para petani, sangat populer dan mampu menghimpun massa dalam jumlah besar. Dalam acara The 3rd China International Football Exposition Juli 2004, Presiden FIFA Blatter mendeklarasikan bahwa sepakbola berasal dari Cina; jadi disebut dalam pernyataan tersebut bahwa Linzi di Zibo di Propinsi Zandong secara resmi adalah tempat lahir sepakbola. Sejauh ini belum pernah ada akte kelahiran untuk sepakbola. Ahli lain, yang didukung data, mengatakan bahwa sepakbola bukan berasal dari Cina tetapi dari Eropa termasuk bentuk-bentuk seperti Episkyros dari Yunani kuno dan Harpastum dari Romawi. Sebenarnya keduanya lebih mendekati model rugby jaman sekarang karena banyak menggunakan tangan. Banyak pendapat tentang asal usul sepakbola di sekitar awal Masehi. Yang jelas bahwa permainan bola ini adalah permainan yang melibatkan dan menarik perhatian orang banyak, sangat digilai dan menjadi pilihan bagus bagi siapapun termasuk penguasa untuk tujuan lain karena kehadian “orang banyak.” Sepakbola bisa mengarah menjadi perang seperti La Guerra del Futbal atau The Football War tahun 1969. Perang pun bisa selesai karena sepakbola seperti yang terjadi di Cote d’Ivoire Afrika tahun 2006. Timnas Cote d’Ivoire membantu kesepakatan gencatan senjata antara pemerintah dengan pemberontak. Bahkan kesepakatan tersebut meningkat menjadi perdamaian ketika dua tim yang berperang antara tentara pemerintah dan tentara pemberontak bermain sepakbola di ibukota pemberontak Bouake. Itulah sepakbola. Peran Pemerintah Sampai sekarang sepakbola tetap terjaga sebagai permainan paling populer di jagad ini. Sepakbola dimainkan oleh lebih dari 250 juta orang di lebih dari 200 negara. Miliaran orang menyaksikan sepakbola jika ada pertandingan besar. Piala Dunia tahun 2006 di Jerman memberikan gambaran dahsyatnya popularitas sepakbola. Waktu itu, ada 376 kanal televisi dengan total 43,600 siaran tv di 214 negara. Total jam siar sepakbola adalah 73,072 jam, meningkat 76% dibanding Piala Dunia 2002. Artinya, jika seluruh siaran itu dilakukan terus menerus di satu stasiun televisi, maka akan butuh waktu lebih dari 8 tahun siaran non-stop. Piala Dunia 2006 ditonton 26.29 miliar pemirsa, 24,2 di rumah mereka dan 2,1 miliar di luar rumah seperti nonton bareng. Dengan popularitas sepakbola seperi itu, sepakbola memang permainan sangat menarik untuk menghibur rakyat dan mampu memberikan manfaat positif. Namun dengan popularitas seperti itu pula sepakbola sering menjadi alat untuk kepentingan di luar sepakbola terutama kegiatan yang membutuhkan keterlibatan “banyak orang” seperti politik. Dan sepakbola Indonesia sudah cukup lama tersiksa karena digunakan untuk kepentingan seperti itu. Karena keterlibatan “orang banyak” yang sangat kasat mata dan semangat tanding tim, sepakbola juga menjadi ajang subur memainkan emosi melalui suap dan judi. Sepakbola mengikat batin ratusan juta orang karena rasa keberpihakan, kedaerahan, pengidolaan dan banyak alasan lain termasuk nasionalisme. Permainan ini dengan cair memainkan emosi orang-seorang dan mampu membangun kebersamaan dan keutuhan baik secara kelompok maupun secara nasional. Sepakbola juga jadi panggung ekspresi nasionalisme yang sangat positif bagi anak muda dan itulah etalase bangsa. Tetapi pengelolaan dan arah yang salah, apalagi jika terjadi ketidakpedulian, maka yang terjadi adalah pengabaian potensi ekspresi anak muda yang bernilai tinggi. Indonesia masuk dalam katergori ini; penentuan arah yang keliru dan penyia-nyiaan peluang yang membanggakan bangsa. Peran pemerintah yang keliru arah saat membantu menyelesaikan situasi tidak terbukti membantu sepakbola Indonesia berkembang menjadi aset bangsa. Tidak perlu sampai menggunakan sepakbola untuk melatih militer seperti cuju. tetapi menerapkan aturan-aturan sepakbola dengan jujur, bertanggung jawab dan tidak berpihak demi permainan sepakbola itu sudah cukup menjadi bukti sikap dan arah kebijakan pemerintah. Apalagi sebenarnya sudah ada UU yang melindungi kepentingan olahraga seperti UU 3/2005. Melalui strategi dan taktik yang bijak dan tanpa intervensi dalam kategori FIFA, pemerintah sebenarnya bisa menjadikan sepakbola sebagai aset bangsa yang mengkilat dan cemerlang. Sepakbola adalah jendela etalase yang dengan rajin bisa dibangun menjadi panggung membanggakan melalui bakat-bakat anak muda Indonesia. Bukan itu saja, permainan indah ini bisa membuka cakrawala luas dengan menjadi pilihan masa depan, memberi pekerjaan langsung maupun tidak langsung dan membuka peluang usaha sampingan bagi jutaan warga bangsa yang sesungguhnya gila bola ini. Yang mencemaskn adalah Indonesia mengabaikan peluang jendela etalase itu. Emosi kebanggaan, kebersamaan dan rasa kebangsaan tak mampu kita bangun lewat sepakbola. Semangat para penggila bola kehilangan teratak untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita kemenangan tim kesayangan. Dan mereka belum menemukan teratak lain sebagai ganti. Mungkin sudah ada penelitian tentang hubungan sepakbola dan kenakalan remaja. Tetapi bisa jadi anak muda mengalihkan emosi mereka ke jalanan, mencari wadah baru yang bisa jadi berada di luar kontrol orang tua, apalagi pemerintah. Jika tak ada yang memahami situasi ini, maka yang akan terjadi bukan hanya kehancuran sepakbola tetapi juga keliaran ketika anak muda mencari jalan keluar emosi yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah. Chaos!

Comments

Popular Posts